Sebab Perpecahan dan Perdamaian

Pertanyaan: 

“Fadhilatus Syaikh,… mohon Anda jelaskan contoh dari hal-hal yang menyebabkan dan menambah perpecahan dan hal-hal yang menyebabkan ishlah (perdamaian)!”

Jawaban : 

“Hal-hal yang menambah perpecahan adalah :                                                                                   

1. Ta’ashub (fanatik) yang tercela,
yaitu fanatik sebagian orang terhadap golongan tertentu karena mengikuti hawa nafsu, baik itu karena fanatik tercela yang disebabkan oleh kafanatikan terhadap ras atau golongan atau kepentingan dunia atau karena benci pada pihak yang menyelisihinya, inilah fanatik yang menambah perpecahan Nasehat para ulama dalam menghadapi ikhtilaf di antara ikhwah Salafiyyin 10

2. Oleh karena itulah, maka wajib atas penuntut ilmu untuk mengikhlaskan amalannya semata-mata karena Allah dan tidak memandang manusia karena status dan kedudukannya yang akhirnya dia mengukur kebenaran dengan figur/tokoh tertentu, padahal justru kebenaran itulah yang menjadi ukuran untuk menilai kedudukan seseorang. Semestinya dia harus membela kebenaran dan orang yang berada diatasnya meskipun orang itu kecil atau rendah derajatnya, dan semestinya harus pula dia mencegah orang dzalim dari kedzolimannya walaupun mulia dan tinggi kedudukannya

3. Menukil perkataan dan menyebarluaskannya. 
Menukil perkataan diantara manusia khususnya dalam perselisihan merupakan hal yang menambah perpecahan, kalian tentunya tahu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membenci “qilla wa qoola, banyak bertanya dan membuang-buang harta” Qilla wa qoola adalah banyak menukil perkataan antar manusia: “Kata Fulan begini…, kata Fulan begitu, Fulan dikatakan begini…, Fulan dikatakan begitu..” sehingga diapun menyibukkan waktu-waktunya dengan perkataan ini. Maka inilah diantara sebab yang paling besar yang menyebabkan kerasnya hati, menimlbulkan hasad, dengki, permusuhan antara ikhwah dan menambah perpecahan. Maka kewajiban penuntut ilmu adalah menjaga lisannya, tidak memperbanyak menukil perkataan, tidak pula memperbanyak pembicaraan yang tidak ada manfaatnya, dan sikap dia ketika tersebar masalah ini diantara ikhwah adalah menjauhinya dan mengatakan: “Tidak layak kita disibukkan dengan hal ini tapi sibukkan diri kita dengan menuntut ilmu dan hal-hal yang bermanfaat,” kecuali jika (menukil perkataan itu) ada maslahatnya untuk mendamaikan antara ikhwah, maka hal itu diperbolehkan.

4. Jahil (bodoh),
yaitu bahwa sebagian mereka yang berselisih terkadang disebabkan oleh kejahilan, jahil terhadap yang haq atau jahil terhadap ahli haq. Jahil terhadap al-haq yaitu: tidak tahu dipihak mana kebenaran itu berada. Contohnya jika ada 2 golongan berselisih dalam masalah ilmiyah, kemudian datang orang yang tidak mengetahui al-haq dalam masalah yang diperselisihkan ini, sehingga diapun membela yang bathil. Inilah yang dapat menambah perpecahan dan perselisihan. Atau bisa jadi karena jahil terhadap ahlul haq (orang-orang yang mengikuti al-haq). Maksudnya, bahwa seseorang yang berilmu tahu al-haq dan tahu dalil-dalilnya, tapi dia tidak tahu keadaan Fulan, dan ini kadang terjadi pada para penuntut ilmu disebabkan karena mereka tidak tidak tahu apa yang terjadi di Indonesia, maka jika ada salah seorang penuntut ilmu yang mengatakan: “Kata Fulan begini…kata Fulan begitu..” tentunya seorang yang berilmu itu berbicara sesuai dengan berita yang disampaikan pada dia. Maka seharusnya bagi mereka yang menukil perselisihan antara manusia bersikap jujur dan terpercaya dalam menukil, tidak boleh dia menukil hal yang Nasehat para ulama dalam menghadapi ikhtilaf di antara ikhwah Salafiyyin 11 tidak pernah diperbuat oleh orangnya tidak juga hal yang tidak pernah dikatakan oleh orang tersebut, tidak boleh pula dia mengambil konsekwensi perkataanya, haruslah dia menukil perselisihan itu sesuai dengan kenyataannya. Dan jahil (tidak mengetahui) terhadap ahlul-haq ini tidaklah menjatuhkan derajat ulama, tidak pula merendahkan harkat mereka, karena mereka tidak tahu apa sebenarnya yang sekarang terjadi di Indonesia -misalnya-, kecuali dari nukilan (sebagian penuntut ilmu) negara ini. Mereka tidak tahu apa yang terjadi di negara tertentu , tapi datang sebagian penduduknya dan menukil perkataan: “Kata Fulan begini,…kata Fulan begitu…” tentunya orang ‘alim itu berbicara sesuai dengan apa yang dia dengar, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam : ”Sesungguhnya saya hanya memutuskan sesuai dengan apa yang saya dengar” 5 Seorang hakim dan mufti menghukumi sesuai dengan apa yang dia dengar, maka selayaknya jika kita menukil sebuah khilaf atau meminta fatwa, hendaknya kita menukil sesuai dengan kenyataan sehingga menghasilkan hukum yang benar, karena seorang ‘alim bertugas untuk berijtihad dalam memutuskan suatu masalah ilmiyah tapi terkadang dia kurang tahu tentang keadaan manusia dan apa yang terjadi terhadap mereka, inilah sebagian dari sebab terjadinya perselisihan.

Adapun sebab-sebab perdamaian adalah :                                                                                             

1. Niat yang jujur dan benar untuk mendamaikan, 
Allah berfirman tentang dua orang penengah yang mendamaikan suami-istri yang berselisih:

 “Jika kedua hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami istri itu ”
(An-Nisaa: 35),

kalau dalam masalah mendamaikan suami istri saja Allah menjanjikan taufiq untuk mereka berdua, apalagi orang yang berusaha untuk mendamaikan antara kaum muslimin, tidak diragukan lagi dia akan diberi taufik -insya Allah-, apabila terpenuhi padanya niat jujur (benar), karena kejujuran niat itu merupakan salah satu sebab hilangnya perselisihan, sehingga diapun menjadi kunci kebaikan yang Allah mudahkan dengannya terjadi perdamaian

2. Do’a untuk kebaikan ikhwah,
yaitu mendo’akan saudara-saudara kita dengan mengikhlaskan niat dalam berdo’a agar Allah mengangkat perselisihan, mendamaikan dan menyatukan hati mereka diatas kebaikan dan taqwa dan membimbing mereka dalam kebenaran

3. Menasehati pihak yang salah,
kita katakan pada dia: “Anda bersalah, maka kembalilah kepada al-haq”, tapi ini bagi orang yang mampu melakukannya, 5 HR. Bukhari no.7169 Nasehat para ulama dalam menghadapi ikhtilaf di antara ikhwah Salafiyyin 12 adapun orang yang tak mempunyai kemampuan untuk menasehatinya maka tak ada kewajiban baginya

4. Menasehati pihak yang benar, 
yaitu agar bersabar, kita katakan pada mereka: “Bersabarlah dan tahan diri kamu terhadap teman-temanmu (yang bersalah) karena merekapun ahlus sunnah, dan perselisihan mereka dengan kamu bukan berarti pula mereka membencimu, bukan berarti mereka tidak menginginkan alhaq, tapi mereka salah. Para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun berselisih dalam banyak masalah, bahkan terjadi fitnah di zaman mereka, tapi setiap mereka mengatakan pada temannya: “Kami tidak merasa lebih dari kalian dalam iman dan taqwa,” Ali bin Abi Thalib radhiallaahu anhu adalah orang paling utama setelah kematian Utsman radhiallaahu anhu, beliau mengatakan: “(Mereka) adalah saudara-saudara kita, kita tidak merasa melebihi mereka dalam iman dan taqwa” padahal beliau adalah orang yang paling utama –mudah-mudahan Allah meridhoinya-. Demikian pula Muawiyah radhiallaahu anhu, beliaupun mengakui keutamaan Ali radhiallaahu anhu dan mengatakan: “Kami tidak memerangi beliau dalam perkara ini (khilafah) dan mengakui keutamaan beliau”, lihatlah !!! Bagaimana mereka berselisih dan menginginkan haq walaupun sudut pandang mereka berbeda dalam banyak masalah, tapi mereka tidak saling mencela satu sama lainnya, bahkan mereka mengakui bahwa saudaranya menginginkan al-haq dan berijtihad, inilah mu’amalah yang harus dilakukan terhadap saudarasaudara kita. 

No comments:

Post a Comment