Seringkali kita lupa, bahwa rangkaian aktifitas kita yan gmuncul dalam waktu yang terus melaju bukanlah tanpa maksud. Bukan tanpa sebab dan juga bukan tanpa tujuan. Ia ada karena sarana menggapai sukses dunia akhirat harus kita adakan.
Dan itu baru terwujud jika aktifitas kita berubah menjadi ibadah. Yaitu amal yang diterima di
sisi-Nya. Diridhai-Nya. Karenanyakita harus peduli akan nasib akhirnya jika tidak ingin semua berlalu tanpa arti. Sebab syarat amal shalih bukanlah bikinan kita sendiri, meski ia juga bukan sesuatu yang sulit dimengerti. Ia adalah konsekueinsi yang lahir dari penerimaan kita akan uluhiyah Allah dan kerasulan Muhammad ﷺ . Inilah makna penerimaan kita akan keberanan Islam.
Ia bukanlah siulan dan tepuk tangan sebagaimana orang-orang Arab dahulu mengerjakan.
Sebagaimana ia juga bukan sekedar penerimaan dan pujian manusia di sekitar karena merasa diuntungkan. Ia adalah mizan yang menjadi zona keyakinan, kepasrahan, kesungguhan, dan kejujuran kita. Tempat dimana kompetisi menjadi yan g terbaik dalam pandangan Allah
dipertaruhkan.
Dan jika kita tahu bahwa ibadah adalah menghadap ke hadirat Allah dengan membawa seluruh diri kita dengan sepenuh cinta, maka ia menghajatkan kesucian. Terbebas dari semua bentuk penodaan dan penyimpangan. Jiwa dan raga!
Jiwa yang suci ada di dalam ikhlas. Yaitu saat kita tahu alasan setiap amal kita adlah mencari penerimaan di sisi-Nya, dan bukan yang lain. Apapun bentuk dan namanya. Sedang jasad yang suci ada dalam ittiba’, yaitu meneladani hamba terbaik dan terpilih, Muhammad ﷺ . Ini bukanlah sebuah logika yang rumit, sehingga sulit dipahami.
Namun, selalu ada celah bagi setan untuk menyesatkan kita sebagaimana mereka telah tersesat. Dalam kebodohan dan nafsu, dalam penambahan dan pengurangan dari yang semestinya. Dalam penolakan kita akan dua pondasi utama amal shalih. Dan dalam kompromi kita akan prinsip-prinsip keshalihan yang lain.
Maka, kita beramal bukanlah karena mencari pujian atau kedudukan, sebab ia adalah noda.
Bukan pula meninggalkan sunnah Muhammad ﷺ , sebab ia adalah penyimpangan. Setiap cabangdari keduanya adalah tipuan yang hanya akan berakhir dengan kekecewaan. Dengan keduanya, apa yang kita sangka kebaikan, hakikatnya hanyalah fatamorgana yang memesona. Sehingga, saat kita berbuat dan merasa telah berjalan mendekat, sesungguhnya langkah-langkah kaki kita sedang menjauh sejauh-jauhnya dari jalan yang lurus dan diridhai.
Sebab, Allah diibadahi atas perintah dan petunjuk-Nya, karena Dia yang berhak menentukan.
Dan itu adalah hak-Nya secara mutlak. Wallahu a’lam.
No comments:
Post a Comment