Segala puji hanya
bagi Allah, shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah, para
pengikutnya, segenap sahabatnya dan orang-orang yang setia kepadanya. Amma
ba’du.
Sesungguhnya kemuliaan akhlak itu terwujud dengan memberikan apa yang dipunyai kepada orang lain, menahan diri sehingga tidak menyakiti, dan menghadapi gangguan atau tekanan dengan penuh kesabaran. Hal itu akan bisa digapai dengan membersihkan jiwa dari sifat-sifat rendah lagi tercela dan menghiasinya dengan sifat-sifat terpuji.
Simpul kemuliaan akhlak itu adalah: kamu tetap menyambung hubungan
dengan orang yang memutuskan hubungan denganmu, memberikan kebaikan kepada
orang yang tidak mau berbuat baik kepadamu, dan memaafkan kesalahan orang lain
yang menzalimi dirimu.
Akhlak yang
mulia memiliki berbagai keutamaan. Ia merupakan bentuk pelaksanaan perintah
Allah dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam.
- Dengan kemuliaan akhlak seorang akan memperoleh ketinggian derajat.
- Dengan sebab kemuliaan akhlak pula berbagai problema akan menjadi mudah, aib-aib akan tertutupi dan hati manusia akan tunduk dan menyukai sang pemilik akhlak yang mulia ini.
- Dengan akhlak yang mulia juga, seorang akan terbebas dari pengaruh negatif tindakan jelek orang lain.
- Dia pandai menunaikan kewajibannya dan melengkapinya dengan hal-hal yang disunnahkan. Sebagaimana ia akan terjauhkan dari akibat buruk sikap tergesa-gesa dan serampangan.
- Dengan akhlak yang mulia pikiran akan tenteram dan kehidupan terasa nikmat.
Tidak
diragukan bahwa mengubah kebiasaan memang perkara yang sangat berat dilakukan
orang. Meskipun demikian, hal itu bukanlah sesuatu yang tidak mungkin dan
mustahil dilakukan. Terdapat banyak jalan dan sarana yang bisa ditempuh oleh
manusia untuk bisa menggapai kemuliaan akhlak. Sebagian di antara jalan-jalan
tersebut adalah:
1. Memiliki
Aqidah yang Selamat
Aqidah itulah iman. Sementara orang yang paling
sempurna keimanannya adalah yang paling baik akhlaknya.
Apabila aqidah
seseorang baik
maka akan baik pula akhlaknya.
Sehingga aqidah yang benar akan menuntun pemiliknya untuk bisa memiliki akhlak yang mulia seperti: berlaku jujur, dermawan, lemah lembut, berani, dan lain sebagainya.
Sebagaimana kemuliaan akhlak juga akan menghalangi dirinya dari melakukan perilaku-perilaku yang jelek seperti; berdusta, bakhil (pelit), bertindak bodoh, serampangan, dan lain sebagainya.
2.
Senantiasa Berdoa Memohon Akhlak Mulia
Doa
merupakan pintu (kebaikan) yang sangat agung. Apabila pintu ini telah dibukakan
untuk seorang hamba maka berbagai kebaikan pasti akan dia dapatkan dan
keberkahan akan tercurah kepadanya.
Barangsiapa yang ingin memiliki kemuliaan akhlak dan terbebas dari akhlak yang jelek hendaknya dia mengembalikan urusannya kepada Rabbnya. Hendaknya dia ‘menengadahkan telapak tangannya’ dengan penuh ketundukan dan perendahan diri kepada-Nya agar Allah melimpahkan kepadanya akhlak yang mulia dan menyingkirkan akhlak-akhlak yang buruk darinya.
Oleh karena itulah Nabi ‘alaihish shalatu was salam adalah orang yang sangat banyak memohon kepada Rabbnya untuk mengaruniakan kepada beliau kemuliaan akhlak.
Beliau biasa memanjatkan permohonan di dalam doa istiftah,
“Ya Allah tunjukkanlah aku kepada akhlak mulia. Tidak ada yang bisa menunjukkan kepada kemuliaan itu kecuali Engkau. Dan singkirkanlah akhlak yang jelek dari diriku. Tidak ada yang bisa menyingkirkan kejelekan akhlak itu kecuali Engkau.” (HR. Muslim: 771).
Salah satu doa yang beliau ucapkan juga,
“Ya Allah, jauhkanlah dari diriku kemungkaran dalam akhlak, hawa nafsu, amal, dan penyakit.” (HR. Al Hakim [1/532] dan disahihkan olehnya serta disepakati Adz Dzahabi).
Beliau juga berdoa,
“Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari sikap lemah, kemalasan, sifat pengecut, pikun, sifat pelit. Dan aku berlindung kepada-Mu dari siksa kubur, dari fitnah kehidupan dan kematian.” (HR. Bukhari [7/159] dan Muslim [2706]).
Barangsiapa yang ingin memiliki kemuliaan akhlak dan terbebas dari akhlak yang jelek hendaknya dia mengembalikan urusannya kepada Rabbnya. Hendaknya dia ‘menengadahkan telapak tangannya’ dengan penuh ketundukan dan perendahan diri kepada-Nya agar Allah melimpahkan kepadanya akhlak yang mulia dan menyingkirkan akhlak-akhlak yang buruk darinya.
Oleh karena itulah Nabi ‘alaihish shalatu was salam adalah orang yang sangat banyak memohon kepada Rabbnya untuk mengaruniakan kepada beliau kemuliaan akhlak.
Beliau biasa memanjatkan permohonan di dalam doa istiftah,
“Ya Allah tunjukkanlah aku kepada akhlak mulia. Tidak ada yang bisa menunjukkan kepada kemuliaan itu kecuali Engkau. Dan singkirkanlah akhlak yang jelek dari diriku. Tidak ada yang bisa menyingkirkan kejelekan akhlak itu kecuali Engkau.” (HR. Muslim: 771).
Salah satu doa yang beliau ucapkan juga,
“Ya Allah, jauhkanlah dari diriku kemungkaran dalam akhlak, hawa nafsu, amal, dan penyakit.” (HR. Al Hakim [1/532] dan disahihkan olehnya serta disepakati Adz Dzahabi).
Beliau juga berdoa,
“Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari sikap lemah, kemalasan, sifat pengecut, pikun, sifat pelit. Dan aku berlindung kepada-Mu dari siksa kubur, dari fitnah kehidupan dan kematian.” (HR. Bukhari [7/159] dan Muslim [2706]).
3.
Bersungguh-Sungguh/Mujahadah Dalam Memperbaiki Diri
Kesungguh-sungguhan
akan banyak berguna di dalam upaya untuk mendapatkan hal ini. Sebab kemuliaan
akhlak tergolong hidayah yang akan diperoleh oleh seseorang dengan jalan
bersungguh-sungguh dalam mendapatkannya.
Allah ‘azza wa jalla berfirman yang artinya,
“Orang-orang yang bersungguh-sungguh di jalan Kami maka akan Kami mudahkan untuknya jalan-jalan menuju keridhaan Kami. Dan sesungguhnya Allah pasti bersama orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Al ‘Ankabut: 69).
Barangsiapa yang bersungguh-sungguh menundukkan hawa nafsunya untuk bisa berhias diri dengan sifat-sifat keutamaan, serta menundukkannya untuk menyingkirkan akhlak-akhlak yang tercela niscaya dia akan mendapatkan banyak kebaikan dan akan tersingkir darinya kejelekan-kejelekan. Akhlak ada yang didapatkan secara bawaan dan ada pula yang dimiliki setelah melatih diri dan membiasakannya.
Mujahadah tidaklah cukup sekali atau dua kali, namun ia harus dilakukan sepanjang hayat hingga menjelang kematiannya. Allah tabaraka wa ta’ala berfirman yang artinya,
Allah ‘azza wa jalla berfirman yang artinya,
“Orang-orang yang bersungguh-sungguh di jalan Kami maka akan Kami mudahkan untuknya jalan-jalan menuju keridhaan Kami. Dan sesungguhnya Allah pasti bersama orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Al ‘Ankabut: 69).
Barangsiapa yang bersungguh-sungguh menundukkan hawa nafsunya untuk bisa berhias diri dengan sifat-sifat keutamaan, serta menundukkannya untuk menyingkirkan akhlak-akhlak yang tercela niscaya dia akan mendapatkan banyak kebaikan dan akan tersingkir darinya kejelekan-kejelekan. Akhlak ada yang didapatkan secara bawaan dan ada pula yang dimiliki setelah melatih diri dan membiasakannya.
Mujahadah tidaklah cukup sekali atau dua kali, namun ia harus dilakukan sepanjang hayat hingga menjelang kematiannya. Allah tabaraka wa ta’ala berfirman yang artinya,
“Sembahlah Rabbmu hingga datang
kematian kepadamu.” (QS. Al Hijr: 99).
.
.
4.
Introspeksi/Muhasabah
.
.
Yakni dengan
cara mengoreksi diri ketika melakukan akhlak yang tercela dan melatih diri agar
tidak terjerumus kembali dalam perilaku akhlak yang tercela itu.
Namun hendaknya tidak terlalu berlebihan dalam mengintrospeksi karena hal itu akan menimbulkan patah semangat.
Allah ‘azza wa jalla berfirman :
Namun hendaknya tidak terlalu berlebihan dalam mengintrospeksi karena hal itu akan menimbulkan patah semangat.
Allah ‘azza wa jalla berfirman :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا
اتَّقُوا اللَّهَ وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَا قَدَّمَتْ لِغَدٍ وَاتَّقُوا
اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ, وَلَا تَكُونُوا كَالَّذِينَ نَسُوا اللَّهَ فَأَنْسَاهُمْ أَنْفُسَهُمْ أُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ
“Hai orang-orang
yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri
memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan
bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang
kamu kerjakan.Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa kepada
Allah, lalu Allah menjadikan mereka lupa kepada diri mereka sendiri.
Mereka itulah orang-orang yang fasik.” (Qs. al-Hasyr: 18-19 )
.
.
5.
Merenungkan Dampak Positif Akhlak yang Mulia
.
.
Sesungguhnya
memikirkan dampak positif dan akibat baik dari segala sesuatu akan memunculkan
motivasi yang sangat kuat untuk melakukan dan mewujudkannya. Maka setiap kali
hawa nafsu mulai terasa sulit untuk ditundukkan hendaknya ia mengingat-ingat
dampak positif tersebut.
Hendaknya dia mengingat betapa indah buah dari kesabaran, niscaya pada saat itu nafsunya akan kembali tunduk dan kembali ke jalur ketaatan dengan lapang.
Sebab apabila seseorang menginginkan kemuliaan akhlak dan dia menyadari bahwa hal itu merupakan sesuatu yang paling berharga dan perbendaharaan yang paling mahal bagi jiwa manusia niscaya akan terasa mudah baginya untuk menggapainya.
.
Hendaknya dia mengingat betapa indah buah dari kesabaran, niscaya pada saat itu nafsunya akan kembali tunduk dan kembali ke jalur ketaatan dengan lapang.
Sebab apabila seseorang menginginkan kemuliaan akhlak dan dia menyadari bahwa hal itu merupakan sesuatu yang paling berharga dan perbendaharaan yang paling mahal bagi jiwa manusia niscaya akan terasa mudah baginya untuk menggapainya.
.
6.
Memikirkan Dampak Buruk Akhlak yang Jelek
Yaitu dengan
memperhatikan baik-baik dampak negatif yang timbul akibat akhlak yang jelek
berupa penyesalan yang terus menerus, kesedihan yang berkepanjangan, rasa tidak
senang di hati orang lain kepadanya. Dengan demikian seorang akan terdorong
untuk mengurangi perilakunya yang buruk dan terpacu untuk memiliki akhlak yang
mulia.
7. Tidak
Putus Asa untuk Memperbaiki Diri
Sebagian
orang yang berakhlak jelek mengira bahwa perilakunya sudah tidak mungkin untuk
diperbaiki dan mustahil untuk diubah. Sebagian orang ketika berusaha sekali
atau beberapa kali untuk memperbaiki dirinya namun menjumpai kegagalan maka dia
pun berputus asa. Hingga akhirnya dia tidak mau lagi memperbaiki dirinya.
Sikap semacam ini benar-benar tidak layak dimiliki seorang muslim. Dia tidak boleh barang sedikit pun merasa senang dengan kehinaan yang sedang dialaminya lantas tidak mau lagi menempa diri karena menurutnya perubahan keadaan merupakan sesuatu yang mustahil terjadi pada dirinya. Namun semestinya dia memperkuat tekad dan terus berupaya untuk menyempurnakan diri, dan bersungguh-sungguh dalam mengikis aib-aib dirinya.
Betapa banyak orang yang berhasil berubah keadaan dirinya, jiwanya menjadi mulia, dan aib-aibnya lambat laun menghilang akibat keseriusannya dalam menempa diri dan kesungguhannya dalam menaklukkan tabiat buruknya.
Sikap semacam ini benar-benar tidak layak dimiliki seorang muslim. Dia tidak boleh barang sedikit pun merasa senang dengan kehinaan yang sedang dialaminya lantas tidak mau lagi menempa diri karena menurutnya perubahan keadaan merupakan sesuatu yang mustahil terjadi pada dirinya. Namun semestinya dia memperkuat tekad dan terus berupaya untuk menyempurnakan diri, dan bersungguh-sungguh dalam mengikis aib-aib dirinya.
Betapa banyak orang yang berhasil berubah keadaan dirinya, jiwanya menjadi mulia, dan aib-aibnya lambat laun menghilang akibat keseriusannya dalam menempa diri dan kesungguhannya dalam menaklukkan tabiat buruknya.
8. Memiliki
Cita-Cita yang Tinggi
Cita-cita tinggi akan melahirkan kesungguhan, memompa semangat untuk maju dan tidak mau tercecer di barisan orang-orang yang rendah dan hina.
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata ;
“Barangsiapa yang memiliki cita-cita yang tinggi dan jiwanya memiliki kekhusyukan maka dia telah memiliki (sumber) segala akhlak mulia.
Sedangkan orang yang rendah cita-citanya dan hawa nafsunya telah melampaui batas maka itu artinya dia telah bersifat dengan setiap akhlak yang rendah dan tercela.”
Jiwa-jiwa yang mulia tidak merasa ridha kecuali terhadap perkara-perkara yang mulia, tinggi, dan baik dampaknya. Sedangkan jiwa-jiwa yang kerdil dan hina menyukai perkara-perkara yang rendah dan kotor sebagaimana halnya seekor lalat yang senang hinggap di barang-barang yang kotor. Jiwa-jiwa yang mulia tidak akan merasa ridha terhadap kezaliman, perbuatan keji, mencuri, demikian pula tindakan pengkhianatan, sebab jiwanya lebih agung dan lebih mulia daripada harus melakukan itu semua.
Sedangkan jiwa-jiwa yang hina justru memiliki karakter yang bertolak belakang dengan sifat-sifat yang mulia itu.
9. Bersabar
Sabar
merupakan fondasi bangunan kemuliaan akhlak. Kesabaran akan melahirkan
ketabahan, menahan amarah, tidak menyakiti, kelemahlembutan dan tidak
tergesa-gesa, dan tidak suka bersikap kasar.
10. Menjaga
Kehormatan/Iffah
Sifat ini
akan membawa pelakunya untuk senantiasa menjauhi perkara-perkara yang rendah
dan buruk, baik yang berupa ucapan ataupun perbuatan. Dia akan memiliki rasa
malu yang itu merupakan sumber segala kebaikan. Sikap ini akan mencegah dari
melakukan perbuatan keji, bakhil, dusta, ghibah maupun namimah/adu
domba.
11.
Keberanian
Hal ini akan
membawa pelakunya untuk memiliki jiwa yang tangguh dan mulia. Selain itu
keberanian akan menuntun untuk senantiasa mengutamakan akhlak mulia, berusaha
untuk mengerahkan kebaikan yang bisa dilakukannya dalam rangka memberikan
manfaat kepada orang lain. Keberanian juga akan menggembleng jiwa untuk rela
meninggalkan sesuatu yang disukai dan menyingkirkannya. Keberanian akan
menuntun kepada sifat suka menahan amarah dan berlaku lembut.
12. Bersikap
Adil
Sikap adil
akan menuntun kepada ketepatan perilaku. Tidak melampaui batas dan tidak
meremehkan. Adil akan melahirkan kedermawanan yang berada di antara sikap boros
dan pelit. Adil akan melahirkan sikap tawadhu’ (rendah hati) yang berada
di antara sikap rendah diri dan kesombongan. Adil juga akan melahirkan sikap
berani yang berada di antara sikap pengecut dan serampangan. Adil pun akan
melahirkan kelemahlembutan yang berada di antara sikap suka marah dengan sifat
hina dan menjatuhkan harga diri.
13. Bersikap
Ramah dan Menjauhi Bermuka Masam
Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda, “Senyummu kepada saudaramu (sesama muslim)
adalah sedekah untukmu.” (HR. Tirmidzi, disahihkan Al Albani dalam Ash
Shahihah: 272).
Beliau juga bersabda,
“Janganlah kamu meremehkan kebaikan meskipun ringan. Walaupun hanya dengan berwajah yang ramah ketika bertemu dengan saudaramu.” (HR. Muslim).
Senyuman akan mencairkan suasana dan meringankan beban pikiran. Orang yang murah senyum akan ringan dalam menunaikan tanggung jawabnya. Kesulitan baginya merupakan tantangan yang harus dihadapi dengan tenang dan pikiran positif. Berbeda dengan orang yang suka bermuka masam. Dia akan menghadapi segala sesuatu dengan penuh kerepotan dan pandangan yang sempit. Apabila menemui kesulitan maka nyalinya mengecil dan semangatnya menurun. Akhirnya dia mencela kondisi yang ada dan merasa tidak puas dengan ketentuan (takdir) Allah lantas dia pun melarikan diri dari kenyataan.
Beliau juga bersabda,
“Janganlah kamu meremehkan kebaikan meskipun ringan. Walaupun hanya dengan berwajah yang ramah ketika bertemu dengan saudaramu.” (HR. Muslim).
Senyuman akan mencairkan suasana dan meringankan beban pikiran. Orang yang murah senyum akan ringan dalam menunaikan tanggung jawabnya. Kesulitan baginya merupakan tantangan yang harus dihadapi dengan tenang dan pikiran positif. Berbeda dengan orang yang suka bermuka masam. Dia akan menghadapi segala sesuatu dengan penuh kerepotan dan pandangan yang sempit. Apabila menemui kesulitan maka nyalinya mengecil dan semangatnya menurun. Akhirnya dia mencela kondisi yang ada dan merasa tidak puas dengan ketentuan (takdir) Allah lantas dia pun melarikan diri dari kenyataan.
14. Mudah
Memaafkan
Mudah
memaafkan dan mengabaikan ketidaksantunan orang lain merupakan akhlak
orang-orang besar dan mulia. Sikap inilah yang akan melestarikan rasa cinta dan
kasih sayang dalam pergaulan. Sikap inilah yang akan bisa memadamkan api
permusuhan dan kebencian. Inilah bukti ketinggian budi pekerti seseorang dan
sikap yang akan senantiasa mengangkat kedudukannya.
15. Tidak
Mudah Melampiaskan Amarah
Hilm atau tidak
suka marah merupakan akhlak yang sangat mulia. Akhlak yang harus dimiliki oleh
setiap orang yang memiliki akal pikiran. Dengan akhlak inilah kehormatan diri
akan terpelihara, badan akan terjaga dari gangguan orang lain, dan sanjungan
akan mengalir atas kemuliaan perilakunya. Hakikat dari hilm adalah
kemampuan mengendalikan diri ketika keinginan untuk melampiaskan kemarahan
bergejolak. Bukanlah artinya seorang yang memiliki sifat ini sama sekali tidak
pernah marah. Namun tatkala perkara yang memicu kemarahannya terjadi maka ia
bisa menguasai dirinya dan meredakan emosinya dengan sikap yang bijaksana.
16.
Meninggalkan Orang-Orang Bodoh
Berpaling
dari tindakan orang-orang jahil akan menyelamatkan harga diri dan menjaga
kehormatan. Jiwanya akan menjadi tenang dan telinganya akan terbebas dari
mendengarkan hal-hal yang menyakitkannya. Allah ta’ala berfirman yang
artinya, “Berikanlah maaf, perintahkan yang ma’ruf, dan berpalinglah dari
orang-orang yang bodoh.” (QS. Al A’raaf: 199). Orang Arab mengatakan, “Menjauhi
kejelekan adalah bagian dari upaya untuk mencari kebaikan.”
17. Tidak
Suka Mencela
Hal ini
menunjukkan kemuliaan diri seseorang dan ketinggian cita-citanya. Sebagaimana
yang dikatakan oleh orang-orang bijak, “Kemuliaan diri yaitu ketika kamu
dapat menanggung hal-hal yang tidak menyenangkanmu sebagaimana kamu sanggup
menghadapi hal-hal yang memuliakanmu.” Diriwayatkan bahwa suatu ketika
Khalifah Umar bin Abdul Aziz sedang pergi berangkat ke masjid pada waktu
menjelang subuh (waktu sahur, suasana masih gelap). Ketika itu dia berangkat
dengan disertai seorang pengawal. Ketika melewati suatu jalan mereka berdua
berpapasan dengan seorang lelaki yang tidur di tengah jalan, sehingga Umar pun
terpeleset karena tersandung tubuhnya. Maka lelaki itu pun berkata kepada Umar,
“Kamu ini orang gila ya?”. Umar pun menjawab, “Bukan.”Maka sang pengawal pun
merasa geram terhadap sang lelaki. Lantas Umar berkata kepadanya, “Ada apa
memangnya! Dia hanya bertanya kepadaku, ‘Apakah kamu gila?’ lalu kujawab bahwa
aku bukan orang gila.”
18.
Mengabaikan Orang yang Berbuat Jelek Kepada Kita
Orang yang
suka menyakiti tidak perlu ditanggapi. Ini merupakan bukti kemuliaan pribadi
dan ketinggian harga diri. Suatu ketika ada orang yang mencaci maki Al Ahnaf
bin Qais berulang-ulang namun sama sekali tidak digubris olehnya. Maka si
pencela mengatakan, “Demi Allah, tidak ada yang menghalanginya untuk membalas
celaanku selain kehinaan diriku dalam pandangannya.”
19.
Melupakan Kelakuan Orang Lain yang Menyakiti Dirinya
Yaitu dengan
cara anda melupakan orang lain yang pernah melakukan perbuatan buruk kepada
anda. Agar hati anda menjadi bersih dan tidak gelisah karena ulahnya. Orang
yang terus mengingat-ingat perbuatan jelek saudaranya kepada dirinya maka
kecintaan dirinya kepada saudaranya tidak akan bisa bersih (dari kepentingan
dunia). Orang yang senantiasa mengenang kejelekan orang lain kepada dirinya
niscaya tidak akan bisa merasakan kenikmatan hidup bersama mereka.
20. Mudah
Memberikan Maaf dan Membalas Kejelekan Dengan Kebaikan
Hal ini
merupakan sebab untuk meraih kedudukan yang tinggi dan derajat yang mulia.
Dengan sikap inilah akan didapatkan ketenangan hati, manisnya iman, dan
kemuliaan diri. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidaklah
Allah akan menambahkan kepada seorang hamba dengan sifat pemaaf yang
dimilikinya kecuali kemuliaan.” (HR. Muslim). Ibnul Qayyim menceritakan,
“Tidaklah aku melihat orang yang lebih bisa memadukan sifat-sifat ini
-berakhlak mulia, pemaaf, dan suka berbuat baik kepada orang lain- daripada
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah -semoga Allah menyucikan ruhnya- ketika itu
sebagian para sahabatnya yang senior mengatakan, ‘Aku sangat ingin bersikap
kepada para sahabatku sebagaimana beliau bersikap kepada musuh-musuhnya.’ Aku
tidak pernah melihat beliau mendoakan kejelekan kepada salah seorang di antara
musuhnya itu. Bahkan beliau biasa mendoakan kebaikan bagi mereka.” [Diangkat
dari Al Asbab Al Mufidah li Iktisab Al Akhlaq Al Hamidah karya Muhammad
bin Ibrahim Al Hamd]
-bersambung
insya Allah-
***
Penulis: Abu
Mushlih Ari Wahyudi
Artikel www.muslim.or.id
Artikel www.muslim.or.id
No comments:
Post a Comment