Dalam sebuah kesempatan Anas bin Malik mendatangi Nabi Muhamad -shollallohu ‘alaihi wa sallam-, sementara beliau sedang berbaring di atas kasur tipis yang langsung beralaskan tanah, di bawah kepala beliau terdapat bantal kecil dari kulit binatang ternak yang isinya serabut kurma kering. Selembar kain tipis menjadi alas untuk tubuh beliau di atas kasur. Tidak mengherankan jika di leher dan di sebagian tubuh beliau terdapat bekas-bekas tindihan serabut, batu kerikil dan pasir.
Sesaat kemudian masuklah Umar bin Khotthob menemui Nabi dan mendapati beliau masih  dalam kondisi berbaring di atas kasur tipis yang langsung menghampar di tanah. Pemandangan seperti itu langsung membuat Umar tidak bisa menahan tangis sedihnya. 

Nabi kemudian bertanya:
“Apa yang membuat engkau menangis wahai Umar?” 

Umar bin Khottob menjawab:
“Demi Allah, bagaimana diriku tidak menangis wahai Rosululloh, sementara aku mengetahui bahwa engkau adalah manusia yang lebih mulia di sisi Allah dari pada Kisra Persia dan Kaisar Romawi. Mereka berdua hidup dengan segala kenikmatannya di dunia ini. Sementara engkau – wahai Rosululloh- berada di tempat ini seperti yang aku lihat?!

Sejurus kemudian, Nabi -shollallohu ‘alaihi wa sallam- bersabda: 
“Tidakkah engkau rela wahai Umar, jika bagi mereka dunia ini dan bagi kita akhirat? 

Umar menjawab: “Tentu saja aku rela wahai Rosululloh”.[1]
Dalam kesempatan dan kondisi yang tepat, Rosululloh -shollallohu ‘alaihi wa sallam- mengajarkan kepada Umar bin Khottob dan seluruh umatnya tentang kemuliaan hidup. Kemuliaan hidup yang didasarkan atas taqwa dan cinta kepada Allah ta’ala. Sebuah nasehat yang mengajarkan kepada umat ini tentang bagaimana seorang hamba memandang dunia dan akhirat. Karena kemulian seorang hamba terletak saat dirinya mendahulukan akhirat dari pada dunianya. Begitu pula dengan kehinaan seorang hamba terjadi tatkala dirinya menjadi budak dunia serta lalai akhiratnya. Nabi -shollallohu ‘alaihi wa sallam- menekankan point penting dalam masalah hidup di dunia ini yaitu bersikap zuhud.
Zuhud merupakan pagar hati seorang hamba agar tidak terbelenggu dengan dunia dan selalu focus dengan akhirat. Sahabat Abu Dzar al Ghifari –radhiyallohu ‘anhu- pernah menjelaskan tentang zuhud dengan perkataannya; 
“Zuhud terhadap dunia bukanlah mengharamkan yang halal, bukan pula dengan menyia-nyiakan harta. Bersikap zuhud terhadap dunia adalah dengan menganggap apa yang ada di Tangan Allah lebih dipercaya dari pada apa yang ada di kedua tanganmu dan menjadikan pahala musibah ketika engkau mendapatkannya lebih engkau cintai jika musibah itu masih berlangsung bersamamu”.[2]

«ازْهَدْ فِي الدُّنْيَا يُحِبَّكَ اللَّهُ »
“bersikap zuhudlah kamu terhadap dunia niscaya Allah mencintaimu…”(HR.Ibnu Majah)[3]
Bermula dari zuhud inilah kaum muslimin menjadi penakluk dunia. Dunia berhasil digenggam dalam tangannya, tak secuilpun dari keindahannya mampu membelenggu hatinya. Justru yang terjadi dunia merengek-rengek untuk diambil olehnya. 
Ibarat orang yang mengejar sumber cahaya, maka secara otomatis bayang-bayang dirinya selalu mengikutinya. Adapun orang yang terbelenggu hatinya oleh dunia, seperti orang yang mengejar bayang-bayangnya sendiri dan menjauh dari sumber cahaya. 
Gambaran yang jelas tentang perbandingan antara pemburu dunia dan pemburu akhirat adalah seperti yang disampaikan oleh Nabi -shollallohu ‘alaihi wa sallam- dalam salah satu nasehatnya :
«مَنْ كَانَتِ الدُّنْيَا هَمَّهُ، فَرَّقَ اللَّهُ عَلَيْهِ أَمْرَهُ، وَجَعَلَ فَقْرَهُ بَيْنَ عَيْنَيْهِ، وَلَمْ يَأْتِهِ مِنَ الدُّنْيَا إِلَّا مَا كُتِبَ لَهُ، وَمَنْ كَانَتِ الْآخِرَةُ نِيَّتَهُ، جَمَعَ اللَّهُ لَهُ أَمْرَهُ، وَجَعَلَ غِنَاهُ فِي قَلْبِهِ، وَأَتَتْهُ الدُّنْيَا وَهِيَ رَاغِمَةٌ»
“Barang siapa  yang menjadikan dunia tujuannya, niscaya Allah akan mencerai-beraikan urusannya, menjadikan kefakiran di antara kedua matanya dan tidaklah datang kepadanya bagian dunianya melainkan apa yang sudah ditetapkan untuknya. Dan barang siapa akhirat menjadi niat tujuannya niscaya Allah akan mengumpulkan urusannya, menjadikan kekayaan di dalam hatinya dan dunia datang kepadanya dalam kondisi hina.” (HR. Ibnu Majah)
Wallohu a’lam.
Oleh Abu Harits, Lc