Cita-Cita dan Impian Tertinggi, yang Melampaui Sekat Angan-Angan Dunia

MUSLIM HEBAT

Semilir angin di pelataran Ka’bah kala itu, menyejukkan hangatnya sinar keemasan mentari yang hendak tenggelam di ufuk barat. Di salah satu pelataran sudut Ka’bah yang suci, tepatnya di sekitar Rukun Yamani, duduk empat orang pemuda dalam satu halaqoh, saling memandang satu sama lain. Keempatnya adalah pemuda-pemuda dari keluarga yang mulia. Mereka adalah; Abdul Malik bin Marwân, Abdullâh bin Zubair bersama kedua saudaranya; Mush’ab bin Zubair dan ‘Urwah bin Zubair.
Alkisah, merekahlah pembicaraan dari lisan-lisan mereka; empat pemuda yang mulia. Tiba-tiba saja perbincangan mereka, melanglang jauh dalam pengembaraan masa depan. Satu demi satu, keempat pemuda tersebut menyingkap kemana gerangan mereka mendaratkan harapan di taman “cita-cita dan impian”.
Abdullâh bin Zubair berkata:
أمنيتي أن أملك الحجاز وأن أنال الخلافة
“Cita-citaku adalah berkuasa di Hijâz dan merengkuh kekhalifahan.”
Saudara Abdullâh, Mush’ab bin Zubair berkata:
أما أنا فأتمنى أن أملك العراقين فلا ينازعني فيهما منازع
“Adapun aku, mengangankan kekuasaan di ‘Irôqoin (Kûfah dan Bashrah di Iraq), tak ada yang melengserkan aku dari keduanya.”
Abdul Malik bin Marwân lantas menjawab:
إذا كنتما تقنعان بذاك، فأنا لا أقنع إلا بأن أملك الأرض كلها، وأن أنال الخلافة بعد معاوية بن أبي سفيان.
“Jika kalian berdua merasa cukup dengan pencapaian tersebut, maka aku belum, kecuali jika aku telah menguasai dunia ini seluruhnya, dan aku mewarisi kekhalifahan setelah Mu’âwiyah bin Abi Sufyân.”
Sementara ‘Urwah bin Zubair….
dia tampak diam membisu. Seakan tak bergairah dengan ungkapan-ungkapan tiga saudaranya dalam menggantungkan cita-cita dan impian. Sejenak, padangan ketiga saudaranya itu tiba-tiba saja terpusat padanya. “Apa yang kau cita-citakan, wahai ‘Urwah?”, mereka bertanya.
‘Urwah menjawab:
بارك الله لكم فيما تمنيتم من أمر دنياكم أما أنا فأتمنى أن أكون عالما عاملا؛ يأخذ الناس عني كتاب ربهم وسنة نبيهم، وأحكام دينهم وأن أفوز في الآخرة رضى الله، وأحظى بجنته
“Semoga Allâh merahmati kalian pada cita-cita kalian di dunia. Adapun aku, maka aku bercita-cita menjadi seorang ‘âlim yang mengamalkan ilmunya, aku menginginkan kelak manusia menimba ilmu Kitâbullâh dan Sunnah Nabi-Nya beserta hukum-hukum agama dariku, dan aku berharap agar kelak aku jaya dengan ridha Allâh dan surga-Nya.”
Kemudian….
berlalulah hari demi hari, masa demi masa, yang melabuhkan cita-cita mereka ke dermaga yang mereka impikan. Abdullâh bin Zubair dikaruniai Allâh kekuasaan setelah wafatnya Yazïd bin Mu’âwiyah,khalifah Bani Umayyah yang ke-2. Abdullâh bin Zubair menjalankan pemerintahan di Makkâh. Wilayah kekuasaannya meliputi Hijâz, Mesir, Yaman, Khurasân, dan Iraq. Sampai akhirnya Abdullâh bin Zubair terbunuh oleh al-Hajjâj bin Yûsuf di pelataran Ka’bah, tidak jauh dari tempat di mana ia dulu pernah mengikrarkan cita-cita dan impiannya.
Sementara Mush’ab bin Zubair, pun meraih apa yang ia cita-citakan. Ia berkuasa di Kûfah dan Bashrah melebarkan sayap kekuasaan abangnya, Abdullâh bin Zubair. Mush’ab pun akhirnya terbunuh dalam sebuah peperangan dalam rangka mempertahankan wilayahnya.
Demikian halnya dengan Abdul Malik bin Marwân. Ia melanjutkan estafet kekhalifahan Bani Umayyah. Di bawah kekuasaannya, bersatulah kaum muslimin setelah terbunuhnya Abdullah bin Zubair dan saudaranya Mush’ab. Abdul Malik bin Marwân telah menggapai tahta kerajaan yang terbesar di zamannya. Betapa banyak penaklukan-penaklukan Islam yang terjadi di masa kekhalifahannya. Sampai, ia pun menghembuskan nafas yang terakhir di Syam, tidak lama kemudian.
Tak ada aib, dan tak ada celaan, atas apa yang dicita-citakan oleh ketiga pemuda yang mulia di atas. Toh, mereka telah banyak berjasa bagi Islam dan kaum muslimin melalui kekuasaan yang mereka pegang. Hanya saja, ada satu kisah yang belum kita tuntaskan semenjak kita beranjak dari kisah majlis penuh berkah di pelataran Ka’bah itu. Ya, kisah tentang cita-cita ‘Urwah bin Zubair.
‘Urwah menghabiskan masa mudanya dengan menuntut ilmu dari para pembesar para Sahabat yang masih hidup di zamannya, seperti; Ali bin Abi Thâlib, Abu Hurairah, Zaid bin Tsâbit, dan ulama-ulama Sahabat lainnya. Dan perlu dicatat, ‘Aisyah radhiallâhu’anha adalah bibik beliau. Tidak heran jika ‘Urwah sangat banyak meriwayatkan hadits dari ‘Aisyah radhiallâhu’anha. Manakala para Sahabat telah tiada, ‘Urwah telah menjelma menjadi ulama besar di kalangan Tâbi’ïn, dihormati dan dimuliakan oleh raja dan rakyat.
Ayahanda ‘Urwah adalah Zubair ibnul ‘Awwâm radhiallâhu’anhu, salah seorang dari 10 Sahabat yang dijamin meraih surga. Ibunda ‘Urwah adalah Asmâ’ putri Abi Bakr ash-Shiddïq radhiallâhu’anhuma yang berjuluk Dzun Nithoqoin (Pemilik dua sabuk, yang membantu hijrahnya Rasûlullâh bersama sang Ayah Abu Bakr ash-Shiddïq). Ibunda kaum mukminïn, ‘Aisyah radhiallâhu’anha, adalah bibik ‘Urwah. Sungguh, ‘Urwah berada di lingkaran nasab mulia yang berada dalam puncak kemuliaan.
Namun, ‘Urwah tidak berbangga dengan kemuliaan keluarganya. Ada cita-cita yang lebih mulia di pelupuk matanya, yaitu ilmu dan amal shalih. Dengan keduanya, ia bisa meraih ridha Allâh dan kerajaan surga di akhirat. Inilah cita-cita seorang mukmin yang tertinggi.
Di dunia ini, tidak ada cita-cita yang lebih mulia dari cita-cita seorang penuntut ilmu yang mengimpikan terkumpulnya ilmu dalam hatinya.
Bukankah Allâh telah memerintahkan Nabi-Nya untuk meminta tambahan ilmu? Bukan tambahan kekayaan, bukan pula tambahan kerajaan.
وقل رب زدني علمًا. طه: 114
“Dan katakanlah: ‘Wahai Rabb, tambahkan untukku ilmu.” [QS. Thaha: 114]
Al-Imâm al-Qurthubi rahimahullâh berkata tentang ayat tersebut:
فلو كان شيء أشرف من العلم لأمر الله تعالى نبيه صلى الله عليه وسلم أن يسأله المزيد منه كما أمر أن يستزيده من العلم
“Andaikata ada sesuatu yang lebih mulia daripada ilmu (untuk dicita-citakan), niscaya Allâh akan memerintahkan Nabi-Nya untuk meminta tambahan sesuatu tersebut, sebagaimana Dia memerintahkan Nabi-Nya untuk meminta tambahan ilmu.”

Kisah ke-empat pemuda itu membuka mata kita, bahwa yang didapatkan manusia tak jauh dengan apa yang menjadi obsesinya. Karena obsesi dan cita-cita itu menggerakkan pemilikinya menuju tujuan. Fokus pikiran, tenaga dan potensi yang dimiliki akan tercurah untuk meraih apa yang menjadi impiannya.

Sekarang, kita lihat seberapa hebat cita-cita kita. Mumpung masih ada waktu untuk merevisinya, masih ada peluang untuk menata ulang rencana dan usaha. Sebagai penutup kata, kami cukupkan kisah imam al jauzi sebagai tauladan memancangkan cita-cita. Imam Al-Jauzi, sejak kecil memilki obsei yang tinggi dalam hal ilmu. Hal itu mendorongnya melakukan usaha yang luar biasa dan hasil yang dicapainya sulit diimbangi oleh orang sezamannya, dan juga setelanya.

Dia bercerita :
“Saya merasakan nikmatnya mencari ilmu, hingga penderitaan dijalan ilmu bagi saya lebih manis dari madu karena besarnya harapan saya untuk mendapatkan ilmu. Diwaktu kecil saya membawa bekal roti kering untuk mencair hadits. Saat istirahat di pinggir sungai, saya tidak bisa makan roti itu saking kerasnya. Satu-satunya cara agar bisa saya makan adalah dengan mencelupkan roti itu ke sungai kemudian baru saya makan. Sekali menelan, saya ikuti dengan minum air sungai. Kesusahan itu tidak terasa karena yang ada dibenak saya hanya kelezatan saat mendapatkan ilmu.

Adapun hasilnya, beliau pernah memotivasi puteranya dan berkata, “Dengan jariku ini, aku pernah menulis 2.000 jilid buku, 100.000 orang bertaubat dan ada 20.000 orang yang masuk Islam dengan sebab dakwahku.”
Wallahu a’lam.


Marâji’ kisah:

Shuwaru min Hayâti at-Tâbi’ïn hal. 38-41, DR. Abdurrahman Ra’fat al-Bâsya. Cet-15, Dârul Adab al-Islâmi.


Muslim Hebat hal. 28-30, Abu Umar Abdillah. Ar-Risalah

No comments:

Post a Comment